SEJARAH
PETA INDONESIA
Sebuah artikel C.J. Zandvliet pada Holland Horizon (1994) Volume 6 Number 1, mengatakan bahwa pada catatan sejarah Cina yang disusun pada tahun 1369 dan 1370, menyebutkan bahwa pada penyerbuan tentara Yuan ke Jawa tahun 1292-1293, Raden Wijaya (salah seorang pemimpin kerajaan Kediri) mempersembahkan sebuah peta kepada para penyerbu sebagai tanda menyerah; hal ini menunjukan keberadaan sebuah peta administratif yang resmi dari kerajaan Kediri.
Pada makalah A Brief History on Cartography in Indonesia (1977) oleh Rachmad
Kusmiadi pada VIIth International Conference on the History of
Cartography di Washington DC, menyebutkan bahwa di abad ke limabelas sudah
ada peta situasi geografi daratan Sunda yang menggambarkan pemukiman di kampong
Ciela dekat Bayongbong, daerah Garut Jawa Barat. Peta bersangkutan disajikan
dengan cara pemintalan pada bahan kain putih menggunakan tinta indigo yang
biasanya digunakan untuk bahan pencelupan. Peta tersebut menyajikan unsur
geografi seperti gunung, pegunungan, sungai, dan kampong dengan simbol yang
unik, yaitu sungai disajikan dengan simbol berbentuk ular, gunung dengan bentuk
simbol segitiga.
Abad
XVI - XVIII
Peta Indonesia mulai digunakan sejak orang
Portugis datang pertama kali ke Indonesia. Penjelajah dari Venesia, Ludovic
Varthena, menyebutkan bahwa seorang mualim pribumi telah berlayar dari
Kalimantan menuju Jawa pada tahun 1505 dengan menggunakan peta sebagai
petunjuk. Pada tahun 1511, sebuah ekspedisi Portugis pergi ke pulau Jawa dan
Maluku; Francisco Rodrigues, seoarang ahli kartografi menyertai ekspedisi
membuat peta dari kepulauan dan perairan yang dikunjungi. Selama melakukan
ekspedisi, diikutsertakan sejumalh mualim pribumi yang berpengalaman, sehingga
akhirnya diperoleh salinan peta; salah satu salinan atau kompilasi peta dikirim
ke Portugis oleh Gubernur Alfonso d’Albuquerque.
Sekitar tahun 1540 Munster/Holbein
mempublikasikan untuk pertama kalinya peta Sumatera (Taprobana) termasuk di
dalamnya Java Minor sebagai Borneo yang terletak di sebelah utara Jawa (Java
Mayor). Dalam peta yang dibuat oleh Sebastian Munster (1540), terjadi perubahan mendasar sebagai koreksi atas kesalahan dalam penyebutan P. Sumatra atau lengkapnya disebut Taprobana Sumatra. Ini berarti untuk pertama kali muncul P. Sumatra dalam peta. Yang unik, dengan perubahan nama Java Minor untuk menyebut P. Sumatra berubah menjadi Taprobana Sumatra, sebutan Java Minor bergeser untuk menyebut P. Borneo.
Pada tahun 1548, Gastaldi dan Ramusio
membuat peta ‘modern’ Borneo yang posisinya mendekati kebenaran jika
dibandingkan dengan peta Java Minor yang dibuat oleh Munster pada tahun 1540;
peta yang dibuat oleh Gastaldi dan Rumusio lebih detil termasuk di dalamnya
Gunung Kinibalu.
Selain peta diatas, pada abad ke XVI ini,
sebuah peta lain yang perlu dicatat adalah peta Jawa yang dikenal sebagai Java Insula, diterbitkan oleh Johannes
Honter dari Kronstad pada tahun 1561.
Peta Jawa Kuno tahun 1561
(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/a9/Java-Map.jpg)
Peta ini menunjukkan bagaimana Honter secara
kritis mencoba untuk menilai pengetahuan geografi; misalnya nama Sunda dan
Japara yang terdapat dalam peta, menunjukkan bahwa Honter menggunakan informasi
tersebut dari orang Portugis untuk menyusun petanya.
Pada akhir abad ke XVI, Belanda telah
memiliki perdagangan yang kuat di Baltik dan Laut Tengah. Akibat ditutupnya
semua pelabuhan di Portugis bagi orang Belanda, mereka memutuskan untuk mencoba
dan menemukan jalan sendiri ke daerah rempah-rempah di Timur. Untuk dapat
mencapai tempat tersebut, mereka belajar sesuatu tentang perdagangan Asia,
jalur pelayaran dan geografi ‘Asia Portugis’. Selain itu, Belanda berusaha
untuk mendapatkan satu set naskah peta yang dibuat oleh pembuat peta Spanyol,
Bartolemeo de Lasso dan De Houtman bersaudara. Pada tahun 1595, orang Belanda
berlayar ke Timur dan tiba di Banten tahun berikutnya. Batavia, sekarang
Jakarta, menjadi pusat perdagangan, politik, dan navigasi Belanda. Sebuah kantor pemetaan ditempatkan di galangan kapal di Batavia, dan di
kantor tersebut para pembuat peta bekerja hanya untuk kepentingan VOC.
Peta Bartolemeo de Lasso
(http://www.betzmaps.com/images/afs-127.jpg&w)
Indiae Orientalis Insularumque Adiacentium
Typus
merupakan peta “tonggak sejarah” kartografi Asia Tenggara dan Kepulauan
Indonesia. Menampilkan perpaduan terbaik ilmu kartografi dan informasi tentang
wilayah Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia pada tujuh puluh tahun
pertama abad ke-16. Peta ini dimuat dalam sebuah atlas Geografi modern yang
berjudul Theatrum Orbis
Terrarum yang disusun oleh Abraham Ortelius (1527-1598). Dibuat
dalam lembar-lembar terpisah yang memuat 35 lembar teks dan 53 buah peta
cetakan lempeng tembaga. Deskripsi asli menggunakan tulisan latin, kemudian
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Sejak edisi tahun 1608,
dipublikasikan dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Inggris dan
Itali.
Peta Indiae
Orientalis Insularumque Adiacentium Typus merupakan peta yang menggambarkan
kepulauan Indonesia yang terakhir dibuat sebelum kedatangan Belanda ke
Nusantara. Penggambarannya sangat luas, dari wilayah bagian barat India yang
dikuasai Portugis, menyambung ke Cina, Jepang, Asia Tenggara dan Kepulauan
Indonesia termasuk Papua, sampai pantai barat laut Amerika. Sumatera dan Jawa
terlihat dalam bentuk yang menyimpang. Bentuk Kalimantan dan Philipina sangat
jelas sebaik susunan Kepulauan Indonesia
pada umumnya.
Jawa kelihatan sebagai sebuah pulau. Kalimantan dipetakan sebagai tempat yang dikarang dengan
sebutan Jawa Minor. Di sisi lain tampak pulau-pulau penghasil cengkeh seperti Ternate , Tidore dan sekitarnya di bagian selatan, Machian
dan Bacan dengan letak yang tepat sampai sebelah barat Pulau Halmahera
(Gigolo). Digambarkan juga Pulau Buru, Pulau Ambon yang sekarang disebut Seram,
dan “Kepala Burung” bagian dari Irian Jaya digambarkan dalam tiga pulau. Pulau
Gebe, dimana Perancis pertama kali mendapatkan cengkeh dan pala pada abad ke-18
terlihat tepat di garis ekuator diantara Pulau Halmahera dan Papua.
Pengikatan sistematis peta perairan
Indonesia tercermin dalam peta cetakan dan peta biasa abad ke XVII. Pada tahun
1685 dibuatlah peta Danckerts, yang sebagian berdasarkan karya para pembuat
peta VOC di Batavia. Jika peta tersebut dibandingkan dengan peta Jawa, Java
Insula tahun 1561, jelas terlihat bahwa peta Danckerts lebih tepat dan rinci
dalam menyajikan kepulauan Indonesia. Pada pertengahan abad ke XVII, peta
perairan Indonesia buatan Belanda menjadi standar, baik untuk orang Belanda
sendiri, maupun untuk saingan mereka. Tidak hanya pembuat peta dari Inggris dan
Perancis yang menggunakan dan menyalin peta buatan Belanda tersebut, para
navigator Bugis yang berpengalamanpun menggunakan peta tersebut.
Pada abad ke XVIII, peranan militer
bertambah penting dalam pembuatan peta Indonesia; mereka mulai membuat peta
topografi daerah sekitar Batavia, Semarang dan tempat lain. Francois Valentijn
(1666-1727) seorang anggota misionari, dalam menjalankan tugasnya memperoleh
peta topografi dari beberapa kota di Jawa antara lain, Tanjung Bantam (Banten),
Batavia (Jakarta), Cirebon, Mataram (Yogyakarta), Ponorogo, Surabaya, Pasuruan,
dan Balambouang. F de Haan pada tahun 1780 melalui buku dengan judul “Platen Album Oud Batavia” mengkisahkan
sejarah kota Batavia; buku tersebut dilengkapi dengan peta kota Batavia tahun
1629, tahun 1740, dan tahun 1780 yang disajikan dalam bentuk peta hitam putih.
Peta Batavia 1629
(http://libweb5.princeton.edu/visual_materials/maps/websites/pacific/spice-islands/spice-islands-maps.html)
Peta Batavia 1667
Pada tahun 1782, di Semarang dibuka sekolah
untuk mendidik tenaga teknik. VOC sangat memerlukan perwira angkatan laut yang bermutu,
serta surveyor (orang yang bergerak di bidang survey pemetaan) yang terampil
dan sarjana teknik militer. Pembuatan peta topografi untuk keperluan sipil dan
militer dianggap sebagai salah satu jalan untuk mempertahankan dan memperluas
pengawasan di seluruh daerah kekuasaan. Para pengajar dan siswa Sekolah Teknik
di Semarang mulai dengan pemetaan topografi daerah pantai Timur Laut Jawa.
Pemerintah Belanda menyadari bahwa memproduksi peta kepulauan Indonesia yang
rinci adalah suatu tugas dan pekerjaan yang rumit, hal itu berarti bahwa
produksi setiap peta yang dihasilkan tergantung pada informasi yang diberikan
oleh pemandu Indonesia atau pembuat peta; keadaan ini berlangsung dari awal
abad ke XVII sampai dengan abad ke XIX.
Pada tahun 1794 dibuat chart dari pantai
Utara Jawa mulai Banten ke Batavia oleh Laurie & Whittle yang diturunkan
dari peta manuskrip VOC. Empat tahun setelah pembuatan chart dari pantai Utara
Jawa, pada tahun 1798, tepatnya pada tanggal 12 Oktober, dipublikasikan chart
dari pulau-pulau Indonesia Timur hasil perbaikan sedikit demi sedikit hasil
observasi yang telah dilakukan oleh Captain Robert Williams pada tahun 1797,
dan juga rekaman dari perjalanan James Cook dan William Dampier. Detil yang
disajikan pada chart pulau-pulau Indonesia Timur antara lain Timor, pulau
tetangga kecil disekitarnya seperti Pulau Semau, dan pulau Roti. Informasi yang
disajikan adalah data pemeruman dan data lainnya, pringatan tanda bahaya untuk
navigasi laut, dan petunjuk lain untuk kapal yang berlayar sepanjang pantai
Timor.
Abad
XIX - XX
Pada pertengahan abad ke XIX, orang
Indonesia mulai memainkan peran yang penting dalam pembuatan peta. Peran
sebagai pemberi informasi berubah menjadi sebuah peran yang lebih aktif dalam
survey dan pembuatan peta. Pada tahun 1850-an, pemuda Jawa dari keluarga
bangsawan mulai bekerja pada Dinas Topografi, dan mulai tahun 1899 lebih banyak
lagi orang Indonesia yang dididik sebagai ahli topografi.
Pioner lain yang perlu ditulis sebagai
pembuat peta Indonesia adalah Franz Wilheim Junghuhn (1804–1864). Pada saat
pertama kali datang ke Indonesia, Junghuhn bertugas sebagai dokter tentara,
kemudian ia tertarik pada surveying; tahun 1835 sampai tahun 1848 ia
mendapatkan kesulitan untuk menjelajahi seluruh Jawa. Hasil survey yang
dilakukan tersebut disajikan pada peta topografi, peta biologi, serta peta
geologi Jawa. Pekerjaan ilmiah yang dilakukan tersebut menghasilkan publikasi
yang berjudul “Java, Zyne gedaante, zyne
platentooi en inwendigebouw” (1853) (Java,
the shape, flora and its inner structures) dengan jumlah 4 volume
dilengkapi peta Jawa skala 1:450.000, suatu penyajian peta topografi pertama
dalam bentuk berwarna.
Peta Jawa oleh FW. Junghuhn
tahun 1860
(http://de.academic.ru/pictures/dewiki/74/Java_1860.JPG)
Pada tahun 1897 ada 2 (dua) peta yang
dihasilkan yaitu peta Soerabaja 1:50.000 dan peta Batavia 1:60.000. Jika
diperhatikan secara mendetil, kedua peta tersebut secara kartografis sangatlah
baik dan memenuhi kaidah-kaidah kartografi. Legenda atau keterangan tentang
suatu tempat yang terdapat pada peta ditulis dengan sejenis pena tanpa suatu
peralatan khusus. Para pembuat peta yang ada saat ini seharusnya banyak belajar
jika melihat peta yang dihasilkan di tahun 1897 tersebut. Walaupun pembuatannya
dilaksanakan dengan teknologi yang terbatas, tetapi kartografer yang ada mampu
menghasilkan peta berwarna yang baik. Hanya disayangkan, informasi tentang
proses atau metode pemetaan yang
digunakan saat itu tidak ditemukan di catatan sejarah peta di Indonesia.
Peta Soerabaja tahun 1897 Peta Batavia 1897
Selain peta Batavia dan Soerabaya, ada juga
peta Bandoeng yang dibuat pada tahun 1928 dan tahun 1933. Peta Bandoeng
1:10.000 yang dibuat pada tahun 1928 tidak jauh berbeda dengan peta Bandung
yang ada saat ini. Tarikan garis yang dibuat oleh kartografer sangat baik
sehingga dapat menyajikan unsur-unsur jalan dan sungai dengan jelas. Peta
Bandoeng tahun 1933 lebih menarik lagi karena sudah dibuat secara berwarna.
Proses kartografi yang dikerjakan relatif sempurna, karena unsur-unsur garis
(jalan, sungai), dan unsur-unsur luas (kampus THS, daerah pemukiman, daerah
terbuka) jelas di dalam penyajian petanya.
Peta Bandoeng 1928
Peta Bandoeng 1933
Pada peta dibawah yaitu peta Padang skala
1:25.000 (tidak tertera tahun pembuatannya) ada suatu hal yang menarik yaitu
unsur-unsur muka bumi selain disajaikan dalam bentuk garis unsur relief juga
disajikan dengan cara hill shading,
suatu cara yang menggambarkan relief dengan pemberian cahaya dri suatu arah
tertentu sehingga nampak seperti tiga dimensi (pada bagian bawah peta).
Pada tahun 1935, telah dibuat peta kota berwarna, Batavia dan Semarang.
Jika ditinjau dari sisi kartografi, kedua peta yang dihasilkan sudah memenuhi
kaidah-kaidah kartografi walaupun pada saat itu teknologi yang digunakan
tidaklah sebaik sekarang. Simbol dan warna yang digunakan pada kedua peta
tersebut mempunyai persamaan walaupun daerah yang dipetakan berlainan, ini menandakan
adanya spesifikasi kartografi yang sama untuk pembuatan kedua peta tersebut.
Peta Batavia dan
Semarang yang dibuat tahun 1935
Pada pertengahan pertama abad ke XX, Dinas
Topografi memperkerjakan lebih dari 500 orang (sebagian besar orang Indonesia) untuk
membuat peta topografi Indonesia. Ribuan peta topografi dihasilkan oleh Dinas
Topografi. Pada tahun 1938 diterbitkan sebuah karya besar Dinas Topografi yaitu
Atlas van Tropisch Nederland. Peta
Indonesia yang rinci karya Dinas Topgrafi dan lembaga lain, baik pemerintah
maupun swasta; oleh orang lain digunakan sebagai peta dasar untuk pembuatan dan
penerbitan atlas sekolah.
Atlas Van Tropisch
Nederland
(http://img.berniaga.co.id/images/82/8217520544.jpg)
Selama perang dunia kedua antara tahun
1942-1945, pihak sekutu yang terdiri dari US
Army Map Service (AMS), the Royal
Australian Survey Corps (RASC), the
British Directorate of Military Survey, melakukan kompilasi seluruh daerah
wilayah Indonesia seluas kurang lebih dua juta kilometer persegi. Pulau Jawa,
Madura, Bali, Sulawesi Selatan, dan beberapa kota besar di Sumatera yang
dipetakan dengan skala peta 1:50.000 berdasarkan kerangka geodesi; sisanya
berupa peta ikhtisar dengan beberapa variasi skala peta 1:100.000, 1:200.000,
1:250.000 dan 1:500.000. Peta–peta Indonesia tersebut dibuat dalam berbagai
skala dalam satu sistem Jaring Kontrol Geodesi.
The
Japanese Army
juga melakukan penggambaran ulang atau pencetakan ulang sebagian besar seri
peta topografi Indonesia. Bagian terpenting dari kontribusi the Japanes Army dalam pembuatan peta
kepulauan Indonesia adalah pembuatan peta antara tahun 1943 sampai tahun 1944
dengan foto udara untuk daerah Sumatera pada skala peta 1:100.000, selain itu
juga mempublikasikan bermacam peta topografi dan foto udara daerah Irian Jaya,
Sumatera dan Kalimantan.
Peta Jakarta produk
AMS
(http://www.lib.utexas.edu/maps/ams/indonesia/txu-oclc-21752461-sb48-12.jpg)
Tahun 1950-1990
Periode
1950-1970 adalah periode Direktorat Jawatan Topografi Angkatan Darat. Anggaran
yang tidak cukup tersedia pada Direktorat Jawatan Topografi AD menyebabkan
tidak banyak tercatat kemajuan selama periode 1950-1970; sejak tahun 1950
praktis tidak ada pemetaan baru. Pekerjaan dengan anggaran yang sangat terbatas
hanya meliputi revisi peta-peta lama serta kompilasi peta-peta skala kecil
1:250.000 dan 1:1.000.000. Pada tahun pertama Pelita 1 (1969/1970) dimulai
pemetaan baru daerah Kalimantan Barat dengan bantuan teknis Australia dalam
rangka Defence Cooperation. Anggaran
counterpart disediakan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, sedangkan
pelaksana dipihak Indonesia adalah Jawatan Topografi AD (Gambar 1.7), dan
dipihak Australia adalah Royal Australian
Survey Corps dari Department of
Defence.
Pada tahun 1952
Badan Penerbit Djambatan N.V telah menerbitkan Atlas Semesta Dunia. Atlas ini
disusun oleh redaksi yang terdiri dari Adinegoro, Adam Bachtiar, Drs. W.F.
Heinemeyer, Drs. J.E. Romien, dan Sutopo. Kartografi dibuat oleh N.V
Cartografisch Instituut Bootsma-Falkplan di 's-Gravenhage dan dicetak oleh N.V.
Boek En Kunstdrukkerij V/H Mouton & Co di 's-Gravenhage. Pada kata
pengantar Redaksi Atlas menulis bahwa atlas ini dipersembahkan kepada
masyarakat Indonesia sebagai suatu sumbangan pembangunan dunia kebudayaan
nasional. Redaksi atlas juga menulis bahwa ada rasa bangga karena dengan ini
lahir sudah atlas dunia besar yang pertama kali bercorak Indonesia, bukan hanya
memakai bahasa Indonesia dan banyak peta tematik Indonesia, tetapi juga karena
atlas ini berpusat ke Asia.
Peta Jawa Barat pada Alas Semesta Dunia 1952
Atlas Semesta Dunia
adalah atlas pertama Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, suatu
kebanggaan sendiri bagi para pembuat atlas atau peta Indonesia. Jika diamati
dan dibaca secara detil Atlas Semesta Dunia tersebut, ada beberapa catatan
menarik yang perlu dikemukakan, antara lain:
- pada atlas tersebut, selain merupakan atlas bersejarah bagi dunia pemetaan di Indonesia, juga merupakan data dan informasi bersejarah bagi pemerintahan di Indonesia karena pada atlas tersebut digambarkan jumlah propinsi yang ada pada saat itu (tahun 1952);
- jumlah propinsi yang digambarkan pada lembar-lembar atlas berjumlah 11 (sebelas), yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Kepulauan Sunda Kecil, dan Irian;
- pada setiap propinsi belum tergambar batas administrasi daerah, tetapi hanya sebuah pernyataan yang tertulis dengan huruf, ukuran dan rentang tertentu, misalnya di propinsi Jawa Barat terdapat tulisan Banten, Bogor, Djakarta, Tjirebon, Priangan, di propinsi Jawa Tengah terdapat tulisan Pekalongan, Semarang, Djapara, Rembang, Banjumas, Kedu, Surakarta, Jogjakarta, di propinsi Jawa Timur terdapat tulisan Bodjonegoro, Surabaja, Madura, Madiun, Kediri, Malang, Besuki; nama-nama tersebut adalah nama Karesidenan yang merupakn bentuk pemerintahan dibawah propinsi.
- ada satu hal yang menarik, disain Kartografi (simbol, warna, teks, tata letak peta, legenda) pada penyajian Atlas Semesta Dunia yang disajikan di tahun 1952, sampai saat ini banyak dipakai oleh para penerbit Atlas Sekolah Indonesia.
Pada tahun
1970/1971 dimulailah Proyek Pemetaan Dasar Nasional oleh Bakosurtanal dengan
anggaran dari APBN. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal), adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen dibawah Presiden yang
pembentukannya berdasarkan Keppres RI Nomor 83 tahun 1969 tanggal 17 Oktober
1969. Adapun tugas Bakosurtanal adalah meneruskan usah-usaha koordinasi guna
mencapai efisiensi dan pemanfaatan semaksimum mungkin potensi nasional dalam
bidang survey dan pemetaan, disamping sebagai badan yang merencanakan dan
melaksanakan program survey dasar sumber alam serta pemetaan dasar nasional.
Peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000
*) Diambil dari Buku Kartografi, Hadwi Soendjojo, Akhmad Riqqi, Penerbit ITB 2012
Wynn Las Vegas Announces Opening of Wynn Casino
BalasHapusWynn 군산 출장마사지 Las Vegas and Encore Las 계룡 출장마사지 Vegas announced today that 계룡 출장마사지 they have begun construction of a 김해 출장안마 new resort, Wynn Resorts. 춘천 출장마사지