Kamis, 30 April 2015



SEJARAH PETA INDONESIA


Sebuah artikel C.J. Zandvliet pada Holland Horizon (1994) Volume 6 Number 1, mengatakan bahwa pada catatan sejarah Cina yang disusun pada tahun 1369 dan 1370, menyebutkan bahwa pada penyerbuan tentara Yuan ke Jawa tahun 1292-1293, Raden Wijaya (salah seorang pemimpin kerajaan Kediri) mempersembahkan sebuah peta kepada para penyerbu sebagai tanda menyerah; hal ini menunjukan keberadaan sebuah peta administratif yang resmi dari kerajaan Kediri.

Pada makalah A Brief History on Cartography in Indonesia (1977) oleh Rachmad Kusmiadi pada VIIth  International Conference on the History of Cartography di Washington DC, menyebutkan bahwa di abad ke limabelas sudah ada peta situasi geografi daratan Sunda yang menggambarkan pemukiman di kampong Ciela dekat Bayongbong, daerah Garut Jawa Barat. Peta bersangkutan disajikan dengan cara pemintalan pada bahan kain putih menggunakan tinta indigo yang biasanya digunakan untuk bahan pencelupan. Peta tersebut menyajikan unsur geografi seperti gunung, pegunungan, sungai, dan kampong dengan simbol yang unik, yaitu sungai disajikan dengan simbol berbentuk ular, gunung dengan bentuk simbol segitiga.

Abad XVI - XVIII

Peta Indonesia mulai digunakan sejak orang Portugis datang pertama kali ke Indonesia. Penjelajah dari Venesia, Ludovic Varthena, menyebutkan bahwa seorang mualim pribumi telah berlayar dari Kalimantan menuju Jawa pada tahun 1505 dengan menggunakan peta sebagai petunjuk. Pada tahun 1511, sebuah ekspedisi Portugis pergi ke pulau Jawa dan Maluku; Francisco Rodrigues, seoarang ahli kartografi menyertai ekspedisi membuat peta dari kepulauan dan perairan yang dikunjungi. Selama melakukan ekspedisi, diikutsertakan sejumalh mualim pribumi yang berpengalaman, sehingga akhirnya diperoleh salinan peta; salah satu salinan atau kompilasi peta dikirim ke Portugis oleh Gubernur Alfonso d’Albuquerque.


Sekitar tahun 1540 Munster/Holbein mempublikasikan untuk pertama kalinya peta Sumatera (Taprobana) termasuk di dalamnya Java Minor sebagai Borneo yang terletak di sebelah utara Jawa (Java Mayor). Dalam peta yang dibuat oleh Sebastian Munster (1540), terjadi perubahan mendasar sebagai koreksi atas kesalahan dalam penyebutan P. Sumatra atau lengkapnya disebut Taprobana Sumatra. Ini berarti untuk pertama kali muncul P. Sumatra dalam peta. Yang unik, dengan perubahan nama Java Minor untuk menyebut P. Sumatra berubah menjadi Taprobana Sumatra, sebutan Java Minor bergeser untuk menyebut P. Borneo.



Pada tahun 1548, Gastaldi dan Ramusio membuat peta ‘modern’ Borneo yang posisinya mendekati kebenaran jika dibandingkan dengan peta Java Minor yang dibuat oleh Munster pada tahun 1540; peta yang dibuat oleh Gastaldi dan Rumusio lebih detil termasuk di dalamnya Gunung Kinibalu.


Selain peta diatas, pada abad ke XVI ini, sebuah peta lain yang perlu dicatat adalah peta Jawa yang dikenal sebagai Java Insula, diterbitkan oleh Johannes Honter dari Kronstad pada tahun 1561.


Peta Jawa Kuno tahun 1561
(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/a9/Java-Map.jpg)

Peta ini menunjukkan bagaimana Honter secara kritis mencoba untuk menilai pengetahuan geografi; misalnya nama Sunda dan Japara yang terdapat dalam peta, menunjukkan bahwa Honter menggunakan informasi tersebut dari orang Portugis untuk menyusun petanya.

Pada akhir abad ke XVI, Belanda telah memiliki perdagangan yang kuat di Baltik dan Laut Tengah. Akibat ditutupnya semua pelabuhan di Portugis bagi orang Belanda, mereka memutuskan untuk mencoba dan menemukan jalan sendiri ke daerah rempah-rempah di Timur. Untuk dapat mencapai tempat tersebut, mereka belajar sesuatu tentang perdagangan Asia, jalur pelayaran dan geografi ‘Asia Portugis’. Selain itu, Belanda berusaha untuk mendapatkan satu set naskah peta yang dibuat oleh pembuat peta Spanyol, Bartolemeo de Lasso dan De Houtman bersaudara. Pada tahun 1595, orang Belanda berlayar ke Timur dan tiba di Banten tahun berikutnya. Batavia, sekarang Jakarta, menjadi pusat perdagangan, politik, dan navigasi Belanda. Sebuah kantor pemetaan ditempatkan di galangan kapal di Batavia, dan di kantor tersebut para pembuat peta bekerja hanya untuk kepentingan VOC.


Peta Bartolemeo de Lasso
(http://www.betzmaps.com/images/afs-127.jpg&w)

Indiae Orientalis Insularumque Adiacentium Typus merupakan peta “tonggak sejarah” kartografi Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia. Menampilkan perpaduan terbaik ilmu kartografi dan informasi tentang wilayah Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia pada tujuh puluh tahun pertama abad ke-16. Peta ini dimuat dalam sebuah atlas Geografi modern yang berjudul Theatrum Orbis Terrarum yang disusun oleh Abraham Ortelius (1527-1598). Dibuat dalam lembar-lembar terpisah yang memuat 35 lembar teks dan 53 buah peta cetakan lempeng tembaga. Deskripsi asli menggunakan tulisan latin, kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Sejak edisi tahun 1608, dipublikasikan dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Inggris dan Itali.

Peta Indiae Orientalis Insularumque Adiacentium Typus merupakan peta yang menggambarkan kepulauan Indonesia yang terakhir dibuat sebelum kedatangan Belanda ke Nusantara. Penggambarannya sangat luas, dari wilayah bagian barat India yang dikuasai Portugis, menyambung ke Cina, Jepang, Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia termasuk Papua, sampai pantai barat laut Amerika. Sumatera dan Jawa terlihat dalam bentuk yang menyimpang. Bentuk Kalimantan dan Philipina sangat jelas sebaik susunan Kepulauan Indonesia pada umumnya.

Jawa kelihatan sebagai sebuah pulau. Kalimantan dipetakan sebagai tempat yang dikarang dengan sebutan Jawa Minor. Di sisi lain tampak pulau-pulau penghasil cengkeh seperti Ternate, Tidore dan sekitarnya di bagian selatan, Machian dan Bacan dengan letak yang tepat sampai sebelah barat Pulau Halmahera (Gigolo). Digambarkan juga Pulau Buru, Pulau Ambon yang sekarang disebut Seram, dan “Kepala Burung” bagian dari Irian Jaya digambarkan dalam tiga pulau. Pulau Gebe, dimana Perancis pertama kali mendapatkan cengkeh dan pala pada abad ke-18 terlihat tepat di garis ekuator diantara Pulau Halmahera dan Papua.  

Pengikatan sistematis peta perairan Indonesia tercermin dalam peta cetakan dan peta biasa abad ke XVII. Pada tahun 1685 dibuatlah peta Danckerts, yang sebagian berdasarkan karya para pembuat peta VOC di Batavia. Jika peta tersebut dibandingkan dengan peta Jawa, Java Insula tahun 1561, jelas terlihat bahwa peta Danckerts lebih tepat dan rinci dalam menyajikan kepulauan Indonesia. Pada pertengahan abad ke XVII, peta perairan Indonesia buatan Belanda menjadi standar, baik untuk orang Belanda sendiri, maupun untuk saingan mereka. Tidak hanya pembuat peta dari Inggris dan Perancis yang menggunakan dan menyalin peta buatan Belanda tersebut, para navigator Bugis yang berpengalamanpun menggunakan peta tersebut.

Pada abad ke XVIII, peranan militer bertambah penting dalam pembuatan peta Indonesia; mereka mulai membuat peta topografi daerah sekitar Batavia, Semarang dan tempat lain. Francois Valentijn (1666-1727) seorang anggota misionari, dalam menjalankan tugasnya memperoleh peta topografi dari beberapa kota di Jawa antara lain, Tanjung Bantam (Banten), Batavia (Jakarta), Cirebon, Mataram (Yogyakarta), Ponorogo, Surabaya, Pasuruan, dan Balambouang. F de Haan pada tahun 1780 melalui buku dengan judul “Platen Album Oud Batavia” mengkisahkan sejarah kota Batavia; buku tersebut dilengkapi dengan peta kota Batavia tahun 1629, tahun 1740, dan tahun 1780 yang disajikan dalam bentuk peta hitam putih.


Peta Batavia 1629
(http://libweb5.princeton.edu/visual_materials/maps/websites/pacific/spice-islands/spice-islands-maps.html) 


Peta Batavia 1667

Pada tahun 1782, di Semarang dibuka sekolah untuk mendidik tenaga teknik. VOC sangat memerlukan perwira angkatan laut yang bermutu, serta surveyor (orang yang bergerak di bidang survey pemetaan) yang terampil dan sarjana teknik militer. Pembuatan peta topografi untuk keperluan sipil dan militer dianggap sebagai salah satu jalan untuk mempertahankan dan memperluas pengawasan di seluruh daerah kekuasaan. Para pengajar dan siswa Sekolah Teknik di Semarang mulai dengan pemetaan topografi daerah pantai Timur Laut Jawa. Pemerintah Belanda menyadari bahwa memproduksi peta kepulauan Indonesia yang rinci adalah suatu tugas dan pekerjaan yang rumit, hal itu berarti bahwa produksi setiap peta yang dihasilkan tergantung pada informasi yang diberikan oleh pemandu Indonesia atau pembuat peta; keadaan ini berlangsung dari awal abad ke XVII sampai dengan abad ke XIX.

Pada tahun 1794 dibuat chart dari pantai Utara Jawa mulai Banten ke Batavia oleh Laurie & Whittle yang diturunkan dari peta manuskrip VOC. Empat tahun setelah pembuatan chart dari pantai Utara Jawa, pada tahun 1798, tepatnya pada tanggal 12 Oktober, dipublikasikan chart dari pulau-pulau Indonesia Timur hasil perbaikan sedikit demi sedikit hasil observasi yang telah dilakukan oleh Captain Robert Williams pada tahun 1797, dan juga rekaman dari perjalanan James Cook dan William Dampier. Detil yang disajikan pada chart pulau-pulau Indonesia Timur antara lain Timor, pulau tetangga kecil disekitarnya seperti Pulau Semau, dan pulau Roti. Informasi yang disajikan adalah data pemeruman dan data lainnya, pringatan tanda bahaya untuk navigasi laut, dan petunjuk lain untuk kapal yang berlayar sepanjang pantai Timor.

Abad XIX - XX

Pada pertengahan abad ke XIX, orang Indonesia mulai memainkan peran yang penting dalam pembuatan peta. Peran sebagai pemberi informasi berubah menjadi sebuah peran yang lebih aktif dalam survey dan pembuatan peta. Pada tahun 1850-an, pemuda Jawa dari keluarga bangsawan mulai bekerja pada Dinas Topografi, dan mulai tahun 1899 lebih banyak lagi orang Indonesia yang dididik sebagai ahli topografi.

Pioner lain yang perlu ditulis sebagai pembuat peta Indonesia adalah Franz Wilheim Junghuhn (1804–1864). Pada saat pertama kali datang ke Indonesia, Junghuhn bertugas sebagai dokter tentara, kemudian ia tertarik pada surveying; tahun 1835 sampai tahun 1848 ia mendapatkan kesulitan untuk menjelajahi seluruh Jawa. Hasil survey yang dilakukan tersebut disajikan pada peta topografi, peta biologi, serta peta geologi Jawa. Pekerjaan ilmiah yang dilakukan tersebut menghasilkan publikasi yang berjudul “Java, Zyne gedaante, zyne platentooi en inwendigebouw” (1853) (Java, the shape, flora and its inner structures) dengan jumlah 4 volume dilengkapi peta Jawa skala 1:450.000, suatu penyajian peta topografi pertama dalam bentuk berwarna.


Peta Jawa oleh FW. Junghuhn tahun 1860
(http://de.academic.ru/pictures/dewiki/74/Java_1860.JPG)

Pada tahun 1897 ada 2 (dua) peta yang dihasilkan yaitu peta Soerabaja 1:50.000 dan peta Batavia 1:60.000. Jika diperhatikan secara mendetil, kedua peta tersebut secara kartografis sangatlah baik dan memenuhi kaidah-kaidah kartografi. Legenda atau keterangan tentang suatu tempat yang terdapat pada peta ditulis dengan sejenis pena tanpa suatu peralatan khusus. Para pembuat peta yang ada saat ini seharusnya banyak belajar jika melihat peta yang dihasilkan di tahun 1897 tersebut. Walaupun pembuatannya dilaksanakan dengan teknologi yang terbatas, tetapi kartografer yang ada mampu menghasilkan peta berwarna yang baik. Hanya disayangkan, informasi tentang proses atau metode  pemetaan yang digunakan saat itu tidak ditemukan di catatan sejarah peta di Indonesia.

  
                    Peta Soerabaja tahun 1897                       Peta Batavia 1897

Selain peta Batavia dan Soerabaya, ada juga peta Bandoeng yang dibuat pada tahun 1928 dan tahun 1933. Peta Bandoeng 1:10.000 yang dibuat pada tahun 1928 tidak jauh berbeda dengan peta Bandung yang ada saat ini. Tarikan garis yang dibuat oleh kartografer sangat baik sehingga dapat menyajikan unsur-unsur jalan dan sungai dengan jelas. Peta Bandoeng tahun 1933 lebih menarik lagi karena sudah dibuat secara berwarna. Proses kartografi yang dikerjakan relatif sempurna, karena unsur-unsur garis (jalan, sungai), dan unsur-unsur luas (kampus THS, daerah pemukiman, daerah terbuka) jelas di dalam penyajian petanya.

Peta Bandoeng 1928

                                   
Peta Bandoeng 1933

Pada peta dibawah yaitu peta Padang skala 1:25.000 (tidak tertera tahun pembuatannya) ada suatu hal yang menarik yaitu unsur-unsur muka bumi selain disajaikan dalam bentuk garis unsur relief juga disajikan dengan cara hill shading, suatu cara yang menggambarkan relief dengan pemberian cahaya dri suatu arah tertentu sehingga nampak seperti tiga dimensi (pada bagian bawah peta).


Pada tahun 1935, telah dibuat peta kota berwarna, Batavia dan Semarang. Jika ditinjau dari sisi kartografi, kedua peta yang dihasilkan sudah memenuhi kaidah-kaidah kartografi walaupun pada saat itu teknologi yang digunakan tidaklah sebaik sekarang. Simbol dan warna yang digunakan pada kedua peta tersebut mempunyai persamaan walaupun daerah yang dipetakan berlainan, ini menandakan adanya spesifikasi kartografi yang sama untuk pembuatan kedua peta tersebut. 

Peta Batavia dan Semarang yang dibuat tahun 1935

Pada pertengahan pertama abad ke XX, Dinas Topografi memperkerjakan lebih dari 500 orang (sebagian besar orang Indonesia) untuk membuat peta topografi Indonesia. Ribuan peta topografi dihasilkan oleh Dinas Topografi. Pada tahun 1938 diterbitkan sebuah karya besar Dinas Topografi yaitu Atlas van Tropisch Nederland. Peta Indonesia yang rinci karya Dinas Topgrafi dan lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta; oleh orang lain digunakan sebagai peta dasar untuk pembuatan dan penerbitan atlas sekolah.


Atlas Van Tropisch Nederland
(http://img.berniaga.co.id/images/82/8217520544.jpg)

Selama perang dunia kedua antara tahun 1942-1945, pihak sekutu yang terdiri dari US Army Map Service (AMS), the Royal Australian Survey Corps (RASC), the British Directorate of Military Survey, melakukan kompilasi seluruh daerah wilayah Indonesia seluas kurang lebih dua juta kilometer persegi. Pulau Jawa, Madura, Bali, Sulawesi Selatan, dan beberapa kota besar di Sumatera yang dipetakan dengan skala peta 1:50.000 berdasarkan kerangka geodesi; sisanya berupa peta ikhtisar dengan beberapa variasi skala peta 1:100.000, 1:200.000, 1:250.000 dan 1:500.000. Peta–peta Indonesia tersebut dibuat dalam berbagai skala dalam satu sistem Jaring Kontrol Geodesi.

The Japanese Army juga melakukan penggambaran ulang atau pencetakan ulang sebagian besar seri peta topografi Indonesia. Bagian terpenting dari kontribusi the Japanes Army dalam pembuatan peta kepulauan Indonesia adalah pembuatan peta antara tahun 1943 sampai tahun 1944 dengan foto udara untuk daerah Sumatera pada skala peta 1:100.000, selain itu juga mempublikasikan bermacam peta topografi dan foto udara daerah Irian Jaya, Sumatera dan Kalimantan.


Peta Jakarta produk AMS
(http://www.lib.utexas.edu/maps/ams/indonesia/txu-oclc-21752461-sb48-12.jpg)

Tahun 1950-1990

Periode 1950-1970 adalah periode Direktorat Jawatan Topografi Angkatan Darat. Anggaran yang tidak cukup tersedia pada Direktorat Jawatan Topografi AD menyebabkan tidak banyak tercatat kemajuan selama periode 1950-1970; sejak tahun 1950 praktis tidak ada pemetaan baru. Pekerjaan dengan anggaran yang sangat terbatas hanya meliputi revisi peta-peta lama serta kompilasi peta-peta skala kecil 1:250.000 dan 1:1.000.000. Pada tahun pertama Pelita 1 (1969/1970) dimulai pemetaan baru daerah Kalimantan Barat dengan bantuan teknis Australia dalam rangka Defence Cooperation. Anggaran counterpart disediakan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, sedangkan pelaksana dipihak Indonesia adalah Jawatan Topografi AD (Gambar 1.7), dan dipihak Australia adalah Royal Australian Survey Corps dari Department of Defence.

Pada tahun 1952 Badan Penerbit Djambatan N.V telah menerbitkan Atlas Semesta Dunia. Atlas ini disusun oleh redaksi yang terdiri dari Adinegoro, Adam Bachtiar, Drs. W.F. Heinemeyer, Drs. J.E. Romien, dan Sutopo. Kartografi dibuat oleh N.V Cartografisch Instituut Bootsma-Falkplan di 's-Gravenhage dan dicetak oleh N.V. Boek En Kunstdrukkerij V/H Mouton & Co di 's-Gravenhage. Pada kata pengantar Redaksi Atlas menulis bahwa atlas ini dipersembahkan kepada masyarakat Indonesia sebagai suatu sumbangan pembangunan dunia kebudayaan nasional. Redaksi atlas juga menulis bahwa ada rasa bangga karena dengan ini lahir sudah atlas dunia besar yang pertama kali bercorak Indonesia, bukan hanya memakai bahasa Indonesia dan banyak peta tematik Indonesia, tetapi juga karena atlas ini berpusat ke Asia.

Peta Jawa Barat pada Alas Semesta Dunia 1952
Atlas Semesta Dunia adalah atlas pertama Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, suatu kebanggaan sendiri bagi para pembuat atlas atau peta Indonesia. Jika diamati dan dibaca secara detil Atlas Semesta Dunia tersebut, ada beberapa catatan menarik yang perlu dikemukakan, antara lain:
  •  pada atlas tersebut, selain merupakan atlas bersejarah bagi dunia pemetaan di Indonesia, juga merupakan data dan informasi bersejarah bagi pemerintahan di Indonesia karena pada atlas tersebut digambarkan jumlah propinsi yang ada pada saat itu (tahun 1952);
  •   jumlah propinsi yang digambarkan pada lembar-lembar atlas berjumlah 11 (sebelas), yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Kepulauan Sunda Kecil, dan Irian;
  •  pada setiap propinsi belum tergambar batas administrasi daerah, tetapi hanya sebuah pernyataan yang tertulis dengan huruf,  ukuran dan rentang tertentu, misalnya di propinsi Jawa Barat terdapat tulisan Banten, Bogor, Djakarta, Tjirebon, Priangan, di propinsi Jawa Tengah terdapat tulisan Pekalongan, Semarang, Djapara, Rembang, Banjumas, Kedu, Surakarta, Jogjakarta, di propinsi Jawa Timur terdapat tulisan Bodjonegoro, Surabaja, Madura, Madiun, Kediri, Malang, Besuki; nama-nama tersebut adalah nama Karesidenan yang merupakn bentuk pemerintahan dibawah propinsi.
  • ada satu hal yang menarik,  disain Kartografi (simbol, warna, teks, tata letak peta, legenda) pada penyajian Atlas Semesta Dunia yang disajikan di tahun 1952, sampai saat ini banyak dipakai oleh para penerbit Atlas Sekolah Indonesia. 

Pada tahun 1970/1971 dimulailah Proyek Pemetaan Dasar Nasional oleh Bakosurtanal dengan anggaran dari APBN. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen dibawah Presiden yang pembentukannya berdasarkan Keppres RI Nomor 83 tahun 1969 tanggal 17 Oktober 1969. Adapun tugas Bakosurtanal adalah meneruskan usah-usaha koordinasi guna mencapai efisiensi dan pemanfaatan semaksimum mungkin potensi nasional dalam bidang survey dan pemetaan, disamping sebagai badan yang merencanakan dan melaksanakan program survey dasar sumber alam serta pemetaan dasar nasional.

 Pada tahun 1985 pemerintah Indonesia menerima bantuan ketiga Bank Dunia untuk “National Mapping and Settlement Planning” yang merupakan komponen proyek Bank Dunia Trans-V; bantuan tersebut digunakan untuk melengkapai program pemetaan dasar nasional. Pelaksanaan pekerjaan pemetaan dasar nasional tersebut selain dilakukan oleh Bakosurtanal;  untuk pertama kalinya perusahaan swasta di bidang pemetaan bekerjasama dengan perusahaan asing dalam bentuk konsersium diberi kesempatan melaksanakan pembuatan Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 untuk daerah Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Mulai tahun 1990, perusahaan swasta Indonesia yang bergerak di bidang survey dan pemetaan mulai diberi kepercayaan penuh oleh Bakosurtanal untuk pembuatan peta Rupabumi (Topografi) skala 1:25.000 daerah Pantai Utara Jawa, sebagian Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur.



Peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000

*) Diambil dari Buku Kartografi, Hadwi Soendjojo, Akhmad Riqqi, Penerbit ITB 2012

1 komentar:

  1. Wynn Las Vegas Announces Opening of Wynn Casino
    Wynn 군산 출장마사지 Las Vegas and Encore Las 계룡 출장마사지 Vegas announced today that 계룡 출장마사지 they have begun construction of a 김해 출장안마 new resort, Wynn Resorts. 춘천 출장마사지

    BalasHapus