Kamis, 30 April 2015



SEJARAH PETA INDONESIA


Sebuah artikel C.J. Zandvliet pada Holland Horizon (1994) Volume 6 Number 1, mengatakan bahwa pada catatan sejarah Cina yang disusun pada tahun 1369 dan 1370, menyebutkan bahwa pada penyerbuan tentara Yuan ke Jawa tahun 1292-1293, Raden Wijaya (salah seorang pemimpin kerajaan Kediri) mempersembahkan sebuah peta kepada para penyerbu sebagai tanda menyerah; hal ini menunjukan keberadaan sebuah peta administratif yang resmi dari kerajaan Kediri.

Pada makalah A Brief History on Cartography in Indonesia (1977) oleh Rachmad Kusmiadi pada VIIth  International Conference on the History of Cartography di Washington DC, menyebutkan bahwa di abad ke limabelas sudah ada peta situasi geografi daratan Sunda yang menggambarkan pemukiman di kampong Ciela dekat Bayongbong, daerah Garut Jawa Barat. Peta bersangkutan disajikan dengan cara pemintalan pada bahan kain putih menggunakan tinta indigo yang biasanya digunakan untuk bahan pencelupan. Peta tersebut menyajikan unsur geografi seperti gunung, pegunungan, sungai, dan kampong dengan simbol yang unik, yaitu sungai disajikan dengan simbol berbentuk ular, gunung dengan bentuk simbol segitiga.

Abad XVI - XVIII

Peta Indonesia mulai digunakan sejak orang Portugis datang pertama kali ke Indonesia. Penjelajah dari Venesia, Ludovic Varthena, menyebutkan bahwa seorang mualim pribumi telah berlayar dari Kalimantan menuju Jawa pada tahun 1505 dengan menggunakan peta sebagai petunjuk. Pada tahun 1511, sebuah ekspedisi Portugis pergi ke pulau Jawa dan Maluku; Francisco Rodrigues, seoarang ahli kartografi menyertai ekspedisi membuat peta dari kepulauan dan perairan yang dikunjungi. Selama melakukan ekspedisi, diikutsertakan sejumalh mualim pribumi yang berpengalaman, sehingga akhirnya diperoleh salinan peta; salah satu salinan atau kompilasi peta dikirim ke Portugis oleh Gubernur Alfonso d’Albuquerque.


Sekitar tahun 1540 Munster/Holbein mempublikasikan untuk pertama kalinya peta Sumatera (Taprobana) termasuk di dalamnya Java Minor sebagai Borneo yang terletak di sebelah utara Jawa (Java Mayor). Dalam peta yang dibuat oleh Sebastian Munster (1540), terjadi perubahan mendasar sebagai koreksi atas kesalahan dalam penyebutan P. Sumatra atau lengkapnya disebut Taprobana Sumatra. Ini berarti untuk pertama kali muncul P. Sumatra dalam peta. Yang unik, dengan perubahan nama Java Minor untuk menyebut P. Sumatra berubah menjadi Taprobana Sumatra, sebutan Java Minor bergeser untuk menyebut P. Borneo.



Pada tahun 1548, Gastaldi dan Ramusio membuat peta ‘modern’ Borneo yang posisinya mendekati kebenaran jika dibandingkan dengan peta Java Minor yang dibuat oleh Munster pada tahun 1540; peta yang dibuat oleh Gastaldi dan Rumusio lebih detil termasuk di dalamnya Gunung Kinibalu.


Selain peta diatas, pada abad ke XVI ini, sebuah peta lain yang perlu dicatat adalah peta Jawa yang dikenal sebagai Java Insula, diterbitkan oleh Johannes Honter dari Kronstad pada tahun 1561.


Peta Jawa Kuno tahun 1561
(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/a9/Java-Map.jpg)

Peta ini menunjukkan bagaimana Honter secara kritis mencoba untuk menilai pengetahuan geografi; misalnya nama Sunda dan Japara yang terdapat dalam peta, menunjukkan bahwa Honter menggunakan informasi tersebut dari orang Portugis untuk menyusun petanya.

Pada akhir abad ke XVI, Belanda telah memiliki perdagangan yang kuat di Baltik dan Laut Tengah. Akibat ditutupnya semua pelabuhan di Portugis bagi orang Belanda, mereka memutuskan untuk mencoba dan menemukan jalan sendiri ke daerah rempah-rempah di Timur. Untuk dapat mencapai tempat tersebut, mereka belajar sesuatu tentang perdagangan Asia, jalur pelayaran dan geografi ‘Asia Portugis’. Selain itu, Belanda berusaha untuk mendapatkan satu set naskah peta yang dibuat oleh pembuat peta Spanyol, Bartolemeo de Lasso dan De Houtman bersaudara. Pada tahun 1595, orang Belanda berlayar ke Timur dan tiba di Banten tahun berikutnya. Batavia, sekarang Jakarta, menjadi pusat perdagangan, politik, dan navigasi Belanda. Sebuah kantor pemetaan ditempatkan di galangan kapal di Batavia, dan di kantor tersebut para pembuat peta bekerja hanya untuk kepentingan VOC.


Peta Bartolemeo de Lasso
(http://www.betzmaps.com/images/afs-127.jpg&w)

Indiae Orientalis Insularumque Adiacentium Typus merupakan peta “tonggak sejarah” kartografi Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia. Menampilkan perpaduan terbaik ilmu kartografi dan informasi tentang wilayah Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia pada tujuh puluh tahun pertama abad ke-16. Peta ini dimuat dalam sebuah atlas Geografi modern yang berjudul Theatrum Orbis Terrarum yang disusun oleh Abraham Ortelius (1527-1598). Dibuat dalam lembar-lembar terpisah yang memuat 35 lembar teks dan 53 buah peta cetakan lempeng tembaga. Deskripsi asli menggunakan tulisan latin, kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Sejak edisi tahun 1608, dipublikasikan dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Inggris dan Itali.

Peta Indiae Orientalis Insularumque Adiacentium Typus merupakan peta yang menggambarkan kepulauan Indonesia yang terakhir dibuat sebelum kedatangan Belanda ke Nusantara. Penggambarannya sangat luas, dari wilayah bagian barat India yang dikuasai Portugis, menyambung ke Cina, Jepang, Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia termasuk Papua, sampai pantai barat laut Amerika. Sumatera dan Jawa terlihat dalam bentuk yang menyimpang. Bentuk Kalimantan dan Philipina sangat jelas sebaik susunan Kepulauan Indonesia pada umumnya.

Jawa kelihatan sebagai sebuah pulau. Kalimantan dipetakan sebagai tempat yang dikarang dengan sebutan Jawa Minor. Di sisi lain tampak pulau-pulau penghasil cengkeh seperti Ternate, Tidore dan sekitarnya di bagian selatan, Machian dan Bacan dengan letak yang tepat sampai sebelah barat Pulau Halmahera (Gigolo). Digambarkan juga Pulau Buru, Pulau Ambon yang sekarang disebut Seram, dan “Kepala Burung” bagian dari Irian Jaya digambarkan dalam tiga pulau. Pulau Gebe, dimana Perancis pertama kali mendapatkan cengkeh dan pala pada abad ke-18 terlihat tepat di garis ekuator diantara Pulau Halmahera dan Papua.  

Pengikatan sistematis peta perairan Indonesia tercermin dalam peta cetakan dan peta biasa abad ke XVII. Pada tahun 1685 dibuatlah peta Danckerts, yang sebagian berdasarkan karya para pembuat peta VOC di Batavia. Jika peta tersebut dibandingkan dengan peta Jawa, Java Insula tahun 1561, jelas terlihat bahwa peta Danckerts lebih tepat dan rinci dalam menyajikan kepulauan Indonesia. Pada pertengahan abad ke XVII, peta perairan Indonesia buatan Belanda menjadi standar, baik untuk orang Belanda sendiri, maupun untuk saingan mereka. Tidak hanya pembuat peta dari Inggris dan Perancis yang menggunakan dan menyalin peta buatan Belanda tersebut, para navigator Bugis yang berpengalamanpun menggunakan peta tersebut.

Pada abad ke XVIII, peranan militer bertambah penting dalam pembuatan peta Indonesia; mereka mulai membuat peta topografi daerah sekitar Batavia, Semarang dan tempat lain. Francois Valentijn (1666-1727) seorang anggota misionari, dalam menjalankan tugasnya memperoleh peta topografi dari beberapa kota di Jawa antara lain, Tanjung Bantam (Banten), Batavia (Jakarta), Cirebon, Mataram (Yogyakarta), Ponorogo, Surabaya, Pasuruan, dan Balambouang. F de Haan pada tahun 1780 melalui buku dengan judul “Platen Album Oud Batavia” mengkisahkan sejarah kota Batavia; buku tersebut dilengkapi dengan peta kota Batavia tahun 1629, tahun 1740, dan tahun 1780 yang disajikan dalam bentuk peta hitam putih.


Peta Batavia 1629
(http://libweb5.princeton.edu/visual_materials/maps/websites/pacific/spice-islands/spice-islands-maps.html) 


Peta Batavia 1667

Pada tahun 1782, di Semarang dibuka sekolah untuk mendidik tenaga teknik. VOC sangat memerlukan perwira angkatan laut yang bermutu, serta surveyor (orang yang bergerak di bidang survey pemetaan) yang terampil dan sarjana teknik militer. Pembuatan peta topografi untuk keperluan sipil dan militer dianggap sebagai salah satu jalan untuk mempertahankan dan memperluas pengawasan di seluruh daerah kekuasaan. Para pengajar dan siswa Sekolah Teknik di Semarang mulai dengan pemetaan topografi daerah pantai Timur Laut Jawa. Pemerintah Belanda menyadari bahwa memproduksi peta kepulauan Indonesia yang rinci adalah suatu tugas dan pekerjaan yang rumit, hal itu berarti bahwa produksi setiap peta yang dihasilkan tergantung pada informasi yang diberikan oleh pemandu Indonesia atau pembuat peta; keadaan ini berlangsung dari awal abad ke XVII sampai dengan abad ke XIX.

Pada tahun 1794 dibuat chart dari pantai Utara Jawa mulai Banten ke Batavia oleh Laurie & Whittle yang diturunkan dari peta manuskrip VOC. Empat tahun setelah pembuatan chart dari pantai Utara Jawa, pada tahun 1798, tepatnya pada tanggal 12 Oktober, dipublikasikan chart dari pulau-pulau Indonesia Timur hasil perbaikan sedikit demi sedikit hasil observasi yang telah dilakukan oleh Captain Robert Williams pada tahun 1797, dan juga rekaman dari perjalanan James Cook dan William Dampier. Detil yang disajikan pada chart pulau-pulau Indonesia Timur antara lain Timor, pulau tetangga kecil disekitarnya seperti Pulau Semau, dan pulau Roti. Informasi yang disajikan adalah data pemeruman dan data lainnya, pringatan tanda bahaya untuk navigasi laut, dan petunjuk lain untuk kapal yang berlayar sepanjang pantai Timor.

Abad XIX - XX

Pada pertengahan abad ke XIX, orang Indonesia mulai memainkan peran yang penting dalam pembuatan peta. Peran sebagai pemberi informasi berubah menjadi sebuah peran yang lebih aktif dalam survey dan pembuatan peta. Pada tahun 1850-an, pemuda Jawa dari keluarga bangsawan mulai bekerja pada Dinas Topografi, dan mulai tahun 1899 lebih banyak lagi orang Indonesia yang dididik sebagai ahli topografi.

Pioner lain yang perlu ditulis sebagai pembuat peta Indonesia adalah Franz Wilheim Junghuhn (1804–1864). Pada saat pertama kali datang ke Indonesia, Junghuhn bertugas sebagai dokter tentara, kemudian ia tertarik pada surveying; tahun 1835 sampai tahun 1848 ia mendapatkan kesulitan untuk menjelajahi seluruh Jawa. Hasil survey yang dilakukan tersebut disajikan pada peta topografi, peta biologi, serta peta geologi Jawa. Pekerjaan ilmiah yang dilakukan tersebut menghasilkan publikasi yang berjudul “Java, Zyne gedaante, zyne platentooi en inwendigebouw” (1853) (Java, the shape, flora and its inner structures) dengan jumlah 4 volume dilengkapi peta Jawa skala 1:450.000, suatu penyajian peta topografi pertama dalam bentuk berwarna.


Peta Jawa oleh FW. Junghuhn tahun 1860
(http://de.academic.ru/pictures/dewiki/74/Java_1860.JPG)

Pada tahun 1897 ada 2 (dua) peta yang dihasilkan yaitu peta Soerabaja 1:50.000 dan peta Batavia 1:60.000. Jika diperhatikan secara mendetil, kedua peta tersebut secara kartografis sangatlah baik dan memenuhi kaidah-kaidah kartografi. Legenda atau keterangan tentang suatu tempat yang terdapat pada peta ditulis dengan sejenis pena tanpa suatu peralatan khusus. Para pembuat peta yang ada saat ini seharusnya banyak belajar jika melihat peta yang dihasilkan di tahun 1897 tersebut. Walaupun pembuatannya dilaksanakan dengan teknologi yang terbatas, tetapi kartografer yang ada mampu menghasilkan peta berwarna yang baik. Hanya disayangkan, informasi tentang proses atau metode  pemetaan yang digunakan saat itu tidak ditemukan di catatan sejarah peta di Indonesia.

  
                    Peta Soerabaja tahun 1897                       Peta Batavia 1897

Selain peta Batavia dan Soerabaya, ada juga peta Bandoeng yang dibuat pada tahun 1928 dan tahun 1933. Peta Bandoeng 1:10.000 yang dibuat pada tahun 1928 tidak jauh berbeda dengan peta Bandung yang ada saat ini. Tarikan garis yang dibuat oleh kartografer sangat baik sehingga dapat menyajikan unsur-unsur jalan dan sungai dengan jelas. Peta Bandoeng tahun 1933 lebih menarik lagi karena sudah dibuat secara berwarna. Proses kartografi yang dikerjakan relatif sempurna, karena unsur-unsur garis (jalan, sungai), dan unsur-unsur luas (kampus THS, daerah pemukiman, daerah terbuka) jelas di dalam penyajian petanya.

Peta Bandoeng 1928

                                   
Peta Bandoeng 1933

Pada peta dibawah yaitu peta Padang skala 1:25.000 (tidak tertera tahun pembuatannya) ada suatu hal yang menarik yaitu unsur-unsur muka bumi selain disajaikan dalam bentuk garis unsur relief juga disajikan dengan cara hill shading, suatu cara yang menggambarkan relief dengan pemberian cahaya dri suatu arah tertentu sehingga nampak seperti tiga dimensi (pada bagian bawah peta).


Pada tahun 1935, telah dibuat peta kota berwarna, Batavia dan Semarang. Jika ditinjau dari sisi kartografi, kedua peta yang dihasilkan sudah memenuhi kaidah-kaidah kartografi walaupun pada saat itu teknologi yang digunakan tidaklah sebaik sekarang. Simbol dan warna yang digunakan pada kedua peta tersebut mempunyai persamaan walaupun daerah yang dipetakan berlainan, ini menandakan adanya spesifikasi kartografi yang sama untuk pembuatan kedua peta tersebut. 

Peta Batavia dan Semarang yang dibuat tahun 1935

Pada pertengahan pertama abad ke XX, Dinas Topografi memperkerjakan lebih dari 500 orang (sebagian besar orang Indonesia) untuk membuat peta topografi Indonesia. Ribuan peta topografi dihasilkan oleh Dinas Topografi. Pada tahun 1938 diterbitkan sebuah karya besar Dinas Topografi yaitu Atlas van Tropisch Nederland. Peta Indonesia yang rinci karya Dinas Topgrafi dan lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta; oleh orang lain digunakan sebagai peta dasar untuk pembuatan dan penerbitan atlas sekolah.


Atlas Van Tropisch Nederland
(http://img.berniaga.co.id/images/82/8217520544.jpg)

Selama perang dunia kedua antara tahun 1942-1945, pihak sekutu yang terdiri dari US Army Map Service (AMS), the Royal Australian Survey Corps (RASC), the British Directorate of Military Survey, melakukan kompilasi seluruh daerah wilayah Indonesia seluas kurang lebih dua juta kilometer persegi. Pulau Jawa, Madura, Bali, Sulawesi Selatan, dan beberapa kota besar di Sumatera yang dipetakan dengan skala peta 1:50.000 berdasarkan kerangka geodesi; sisanya berupa peta ikhtisar dengan beberapa variasi skala peta 1:100.000, 1:200.000, 1:250.000 dan 1:500.000. Peta–peta Indonesia tersebut dibuat dalam berbagai skala dalam satu sistem Jaring Kontrol Geodesi.

The Japanese Army juga melakukan penggambaran ulang atau pencetakan ulang sebagian besar seri peta topografi Indonesia. Bagian terpenting dari kontribusi the Japanes Army dalam pembuatan peta kepulauan Indonesia adalah pembuatan peta antara tahun 1943 sampai tahun 1944 dengan foto udara untuk daerah Sumatera pada skala peta 1:100.000, selain itu juga mempublikasikan bermacam peta topografi dan foto udara daerah Irian Jaya, Sumatera dan Kalimantan.


Peta Jakarta produk AMS
(http://www.lib.utexas.edu/maps/ams/indonesia/txu-oclc-21752461-sb48-12.jpg)

Tahun 1950-1990

Periode 1950-1970 adalah periode Direktorat Jawatan Topografi Angkatan Darat. Anggaran yang tidak cukup tersedia pada Direktorat Jawatan Topografi AD menyebabkan tidak banyak tercatat kemajuan selama periode 1950-1970; sejak tahun 1950 praktis tidak ada pemetaan baru. Pekerjaan dengan anggaran yang sangat terbatas hanya meliputi revisi peta-peta lama serta kompilasi peta-peta skala kecil 1:250.000 dan 1:1.000.000. Pada tahun pertama Pelita 1 (1969/1970) dimulai pemetaan baru daerah Kalimantan Barat dengan bantuan teknis Australia dalam rangka Defence Cooperation. Anggaran counterpart disediakan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, sedangkan pelaksana dipihak Indonesia adalah Jawatan Topografi AD (Gambar 1.7), dan dipihak Australia adalah Royal Australian Survey Corps dari Department of Defence.

Pada tahun 1952 Badan Penerbit Djambatan N.V telah menerbitkan Atlas Semesta Dunia. Atlas ini disusun oleh redaksi yang terdiri dari Adinegoro, Adam Bachtiar, Drs. W.F. Heinemeyer, Drs. J.E. Romien, dan Sutopo. Kartografi dibuat oleh N.V Cartografisch Instituut Bootsma-Falkplan di 's-Gravenhage dan dicetak oleh N.V. Boek En Kunstdrukkerij V/H Mouton & Co di 's-Gravenhage. Pada kata pengantar Redaksi Atlas menulis bahwa atlas ini dipersembahkan kepada masyarakat Indonesia sebagai suatu sumbangan pembangunan dunia kebudayaan nasional. Redaksi atlas juga menulis bahwa ada rasa bangga karena dengan ini lahir sudah atlas dunia besar yang pertama kali bercorak Indonesia, bukan hanya memakai bahasa Indonesia dan banyak peta tematik Indonesia, tetapi juga karena atlas ini berpusat ke Asia.

Peta Jawa Barat pada Alas Semesta Dunia 1952
Atlas Semesta Dunia adalah atlas pertama Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, suatu kebanggaan sendiri bagi para pembuat atlas atau peta Indonesia. Jika diamati dan dibaca secara detil Atlas Semesta Dunia tersebut, ada beberapa catatan menarik yang perlu dikemukakan, antara lain:
  •  pada atlas tersebut, selain merupakan atlas bersejarah bagi dunia pemetaan di Indonesia, juga merupakan data dan informasi bersejarah bagi pemerintahan di Indonesia karena pada atlas tersebut digambarkan jumlah propinsi yang ada pada saat itu (tahun 1952);
  •   jumlah propinsi yang digambarkan pada lembar-lembar atlas berjumlah 11 (sebelas), yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Kepulauan Sunda Kecil, dan Irian;
  •  pada setiap propinsi belum tergambar batas administrasi daerah, tetapi hanya sebuah pernyataan yang tertulis dengan huruf,  ukuran dan rentang tertentu, misalnya di propinsi Jawa Barat terdapat tulisan Banten, Bogor, Djakarta, Tjirebon, Priangan, di propinsi Jawa Tengah terdapat tulisan Pekalongan, Semarang, Djapara, Rembang, Banjumas, Kedu, Surakarta, Jogjakarta, di propinsi Jawa Timur terdapat tulisan Bodjonegoro, Surabaja, Madura, Madiun, Kediri, Malang, Besuki; nama-nama tersebut adalah nama Karesidenan yang merupakn bentuk pemerintahan dibawah propinsi.
  • ada satu hal yang menarik,  disain Kartografi (simbol, warna, teks, tata letak peta, legenda) pada penyajian Atlas Semesta Dunia yang disajikan di tahun 1952, sampai saat ini banyak dipakai oleh para penerbit Atlas Sekolah Indonesia. 

Pada tahun 1970/1971 dimulailah Proyek Pemetaan Dasar Nasional oleh Bakosurtanal dengan anggaran dari APBN. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen dibawah Presiden yang pembentukannya berdasarkan Keppres RI Nomor 83 tahun 1969 tanggal 17 Oktober 1969. Adapun tugas Bakosurtanal adalah meneruskan usah-usaha koordinasi guna mencapai efisiensi dan pemanfaatan semaksimum mungkin potensi nasional dalam bidang survey dan pemetaan, disamping sebagai badan yang merencanakan dan melaksanakan program survey dasar sumber alam serta pemetaan dasar nasional.

 Pada tahun 1985 pemerintah Indonesia menerima bantuan ketiga Bank Dunia untuk “National Mapping and Settlement Planning” yang merupakan komponen proyek Bank Dunia Trans-V; bantuan tersebut digunakan untuk melengkapai program pemetaan dasar nasional. Pelaksanaan pekerjaan pemetaan dasar nasional tersebut selain dilakukan oleh Bakosurtanal;  untuk pertama kalinya perusahaan swasta di bidang pemetaan bekerjasama dengan perusahaan asing dalam bentuk konsersium diberi kesempatan melaksanakan pembuatan Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 untuk daerah Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Mulai tahun 1990, perusahaan swasta Indonesia yang bergerak di bidang survey dan pemetaan mulai diberi kepercayaan penuh oleh Bakosurtanal untuk pembuatan peta Rupabumi (Topografi) skala 1:25.000 daerah Pantai Utara Jawa, sebagian Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur.



Peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000

*) Diambil dari Buku Kartografi, Hadwi Soendjojo, Akhmad Riqqi, Penerbit ITB 2012

Rabu, 29 April 2015



PENDIDIKAN TINGGI GEODESI DI INDONESIA


Pada tanggal 18 Februari 1949, Direktur Jawatan Pendaftaran Tanah (Kadaster) yang bernaung di bawah Kementerian Kehakiman menyampaikan suatu pernyataan kepada Fakultet Ilmu Pengetahuan Teknik Universitas Indonesia (Fakulteit der Technische Wetenschappen van de Universiteit van Indonesia) di Bandung, untuk memperlajari kemungkinan diselenggarakannya pendidikan ahli ukur (surveyor, landmeter) sebagai sub bagian dari Bagian Sipil, untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli ukur tingkat universiter pada Jawatan Pendaftaran Tanah.

Berdasarkan permintaan Direktur Pendaftaran Tanah tersebut, Fakultet Teknik membentuk Komite pada tanggal 12 Maret 1949 yang terdiri atas:

       Prof. Dr. K. Posthumus (Guru Besar Kimia), Dekan Fakultet Teknik
       Prof. Ir. Jac. P. Thijse, Guru Besar Perencanaan dan Arsituktur, Fakultet Teknik
       Prof. H.A. Brouwer, Guru Besar Surveying Bagian Teknik Sipil

Laporan Komite dibahas pada sidang Fakultet tanggal 13 April 1949. Usul Komite untuk mengembangkan pendidikan insijur Geodesi dengan lama studi lima tahun seperti halnya di negara lain, khususnya di Technische Hoogeschool (TH) Delft, akhirnya diterima oleh Fakutet Teknik, dan meneruskannya ke Dewan Pimpinan Universiteit (Board of Governors of Universitet of Indonesia). Lokasi pendidikan diinginkan yang dekat dengan Bagian Sipil Fakultet Teknik agar memungkinkan untuk melakukan kerjasama antara Bagian Sipil dan Bagian Geodesi di masa mendatang.

Pada laporan, Komite juga meminta perhatian khusus untuk pengembangan fotogrametri, sebab kebutuhan pendidikan pada subyek fotogrametri akan sangat penting untuk Indonesia. Pendidikan Tinggi Geodesi di Indonesia diadakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli ukur pada Jawatan Pendaftaran Tanah. Pada tahun lima puluhan diperlukan 30 ahli ukur untuk menggantikan Kepala-Kepala Kantor Kadaster bangsa Belanda yang meninggalkan Indonesia, dan dalam waktu 10 tahun berikutnya dibutuhkan lagi sejumlah 30 ahli ukur. Jawatan Topografi Angkatan Darat juga memerlukan sejumlah 10 orang insinyur Geodesi dalam periode yang sama. Kebutuhan tenaga ahli ukur juga dirasakan pada Jawatan Pekerjaan Umum, Jawatan Kehutanan, dan perusahaan swasta.


Pada tahun akademik 1950-1951 (1 September 1950) pendidkan Geodesi dimulai di Bandung pada Fakultet Ilmu Pengetahuan Universitas Indonesia. Mahasiswa angkatan pertama Bagian Geodesi ITB berjumlah 13 orang terdaftar dan 1 orang pendengar. Pada angkatan pertama tersebut antara lain Jacub Rais (Guru Besar ITB, Kepala Bakosurtanal kedua), Pranoto Asmoro (Mayor Jenderal TNI-AD, Kepala Jantop TNI-AD ketiga dan Kepala Bakosurtanal pertama), Josep Soenarjo, mahasiswa pendengar (Kolenel pada Jantop TNI-AD, Guru Besar ITB). Pimpinan Bagian Geodesi dipegang oleh Prof. H.A. Brower.


*) 50 Tahun Pendidikan Tinggi Geodesi di Indonesia, Hadwi Soendjojo, Penerbit ITB (Tahun 2000)

Selasa, 28 April 2015


PENYAJIAN RELIEF

Relief adalah bentuk fisik dari landskap, suatu konfigurasi sebenarnya dari muka bumi atau dengan kata lain, suatu bentuk yang memperlihatkan perbedaan dalam ketinggian dan kemiringan dari bentuk-bentuk yang ada/tidak sama di muka bumi (Monkhouse: Dictionary of Geography). Secara umum dapat dikatakan bahwa pengertian relief ini dihubungkan dengan suatu bentuk/model keseluruhan muka bumi dalam bentuk (pandangan) tiga dimensi. Oleh sebab itu pengertian relief jauh lebih luas dari sekedar ketinggian saja.
Dari pengertian diatas, dapatlah dilihat bahwa relief merupakan suatu unsur yang sangat penting dan memainkan peranan dalam aktifitas manusia di muka bumi. Informasi relief sangat diperlukan dan dapat digunakan antara lain pada:
-         pekerjaan konstruksi jalan raya, bendungan, irigasi;
-         tujuan-tujuan navigasi;
-         tujuan-tujuan operasi militer;
-         tujuan-tujuan ilmu pengetahuan;
-         tujuan-tujuan pariwisata.
Seorang pembuat peta harus melengkapi informasi tentang relief tersebut, dan pekerjaan ini jelas tidak mudah sebab yang harus disajikan adalah bentuk tiga dimensi pada kertas yang mempunyai bentuk dua dimensi. Sejak dahulu telah banyak cara-cara yang diusahakan orang untuk menyajikan/menggambarkan relief tersebut. Adapun bentuk yang umumnya banyak digunakan adalah:
1.     garis kontur;
2.     titik tinggi (spot height);
3.     rock drawing;
4.     bayangan (shading/hill shading);
5.     warna ketinggian (layer tints).
GARIS KONTUR

Garis kontur adalah suatu garis khayal (imagenary lines) yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian sama, diatas/ dibawah suatu referensi tinggi tertentu di (atas) muka bumi. Garis kontur 25 m, artinya garis kontur ini menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian sama 25 m terhadap referensi tinggi tertentu. Garis kontur dapat dibentuk dengan membuat proyeksi tegak garis-garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi ke bidang mendatar peta. Pada umumnya peta dibuat dengan skala tertentu, maka bentuk garis kontur ini juga akan mengalami pengecilan sesuai skala peta. 

Penyajian Garis Kontur

Untuk bisa mengetahui ketinggian di muka bumi, perlu diperhatikan lebar ruang diantara garis kontur. Jika kontur berdekatan, berarti keadaan topografinya adalah lereng yang curam, jika antar kontur mempunyai ruang yang luas, berarti kondisi topografinya relatif datar. Melalui pemahaman bentuk-bentuk tampilan garis kontur pada peta, maka dapat diketahui bentuk ketinggian muka bumi, yang selanjutnya dengan bantuan pengetahuan lainnya bisa diinterpretasikan pula informasi tentang bentuk muka bumi lainnya.
Selain menunjukkan bentuk ketinggian permukaan tanah, garis kontur juga dapat digunakan untuk:

a. menentukan potongan memanjang antara dua tempat;
b. menghitung luas daerah genangan dan volume suatu bendungan;
c. menentukan arah jalan dengan kelandaian tertentu;
d. menentukan kemungkinan dua titik di lapangan yang sama tinggi dan saling terlihat.

Selang Kontur
Selang kontur (contours interval) adalah jarak vertikal antara dua kontur yang berurutan; jadi juga merupakan jarak antara dua bidang mendatar yang berdekatan. Pengertian selang kontur jangan dicampur aduk dengan pengertian jarak antara kontur yang berurutan pada peta. Selang kontur selalu konstan, sedang jarak antar kontur tidak selalu konstan tergantung bentuk kemiringan atau kelandaian suatu relief. Pemilihan selang kontur tergantung pada beberapa faktor, yaitu: 
- skala peta, semakin besar skala peta selang kontur semakin rapat (sekitar 1-2 meter), semakin kecil skala peta selang kontur semakan jarang (sekitar 25-50 meter);
- maksud/tujuan peta, selang kontur tergantung tujuan pembuatan peta, untuk pembuatan disain jalan, selang kontur sangat rapat (bisa 1-2 meter); 
- data yang tersedia, selang kontur tergantung juga pada data yang tersedia hasil dari metode pengukuran di lapangan;
- bentuk daerahnya, selang kontur untuk daerah bergunung dan daerah padang pasir akan berbeda.
- keterbatasan bentuk penyajian (secara grafis), cara penyajian yang dipilih untuk penggambaran selang kontur tergantung pada perlatan dan metode yang digunakan pada saat penggambarannya.
Kelima faktor diatas saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Pada umumnya selalu diusahakan selang kontur sekecil mungkin, terutama untuk penyajian relief yang akan memberikan gambaran tentang bentuk sebenarnya. Bentuk penyajian relief dengan detail-detail yang cukup banyak, akan memberi kesan yang baik dalam bentuk tiga dimensi tersebut. Penentuan selang kontur yang konstan untuk suatu daerah bergunung-gunung akan berbeda dengan suatu daerah datar. Pada daerah datar, sebenarnya jauh lebih sulit untuk menetapkan selang kontur dibandingkan dengan daerah bergunung-gunung.
Hal-hal lain yang perlu diingat dalam selang kontur adalah angka yang digunakan merupakan suatu angka yang mudah, dengan pengertian bahwa ‘mudah’ disini berarti mudah dibaca, mudah dibagi/ditambah. Jika telah disepakati bahwa suatu selang kontur adalah 25 meter, maka angka-angka untuk penulisan seperti 235, 260, 285, 310 dan seterusnya bukanlah suatu angka-angka yang mudah dibaca, jadi lebih baik digunakan angka-angka 225, 250, 275, 300, 325 dan seterusnya.
Dari sudut kejelasan membaca peta (readibility), tebal garis kontur yang dapat digambarkan pada peta mempunyai batas minimum yakni 0,01 mm serta jarak minimum antar kontur di peta adalah + 0.04 mm. Dengan demikian, per mm dapat digambarkan maksimum 2 garis kontur. Jika diketahui kemiringan adalah 450 dan skala peta 1 : 50.000, maka maksimum selang kontur adalah 25 meter. Dengan selang ini (25 meter) suatu kemiringan yang besarnya 50 dan skala peta 1 : 50.000 akan mempunyai jarak antarkontur sekitar 5,7 mm.
Pemilihan selang kontur sangat mempengaruhi penyajian relief secara keseluruhan. Artinya, pemilihan dari selang kontur harus tepat sesuai dengan penggunaan peta topografi bersangkutan, skala peta dan keadaan daerah yang dipetakan. Pada umumnya, makin besar skala peta makin kecil selang konturnya, demikian pula sebaliknya. Pemilihan skala peta dan penggunaannya akan menentukan ketelitian yang diperlukan dan besarnya selang konturnya.
Ketelitian Kontur
Posisi suatu titik diatas peta ditentukan dengan koordinat X, Y dan Z; oleh karena itu ketelitian titik-titik dapat dinyatakan dengan "salah menengah" dari koordinat-koordinat tersebut. Umumnya dibedakan ketelitian antara koordinat X dan Y yang dinamakan ketelitian planimetrik (horisontal) dan koordinat Z yang dinamakan ketelitian tinggi (vertikal).
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketelitian garis kontur pada suatu peta adalah:
ketelitian pengukuran, berhubungan dengan skala peta yang dihasilkan dan metode pengukuran yang digunakan; 
-  ketelitian yang dapat dicapai pada penggambaran dan reproduksi.
Untuk kebanyakan peta, terutama peta dengan skala lebih kecil dari 1:25.000, ketelitian pengukuran akan jauh lebih tinggi dari ketelitian penggambarannya.
Indeks Kontur
Pada penggambaran garis kontur, biasanya ada garis-garis dengan harga tertentu yang digambarkan dengan garis yang lebih tebal dibandingkan garis kontur yang lainnya, umpamanya setiap 100 meter, 250 meter atau 500 meter. Secara umum diantara dua garis tebal yang berurutan itu akan ada empat sampai 5 garis kontur lainnya. Garis kontur yang lebih tebal dari garis kontur lainnya disebut sebagai indeks kontur.
Adanya indeks kontur, maka pada penggambaran pemberian harga/angka dari garis kontur dapat dibatasi; tidak semua garis kontur yang diberikan angka/harga dari garis kontur, hanya garis kontur yang disebut indeks kontur yang diberikan harga/angka. Manfaat lain dari adanya indeks kontur adalah dapat menolong di dalam kejelasan membaca peta.
Indeks Kontur

Penyajian Kontur
Pada pembuatan peta topografi, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penyajian garis kontur, antara lain:
a.     garis-garis kontur saling melingkari satu sama lain dan tidak akan saling berpotongan; 


Garis kontur saling melingkar
b.     pada daerah yang curam garis kontur lebih rapat dan pada daerah yang landai lebih jarang;

Kerapatan garis kontur pada daerah curam dan daerah landai

c.     pada daerah yang sangat curam, garis-garis kontur membentuk satu garis;
d.     garis kontur pada curam yang sempit membentuk huruf V yang menghadap ke bagian yang lebih rendah; garis kontur pada punggung bukit yang tajam membentuk huruf V yang menghadap ke bagian yang lebih tinggi;


Garis kontur daerah curam

e.     garis kontur pada suatu punggung bukit yang membentuk sudut 90° dengan kemiringan maksimumnya, akan membentuk huruf U menghadap ke bagian yang lebih tinggi;


Garis kontur pada punggung bukit

f.     garis kontur pada bukit atau cekungan membentuk garis-garis kontur yang menutup-melingkar;
g.     bentuk kontur menjorok ke arah hulu jika melewati sungai, menjorok ke arah jalan menurun jika melewati 
permukaan jalan;


Kontur pada sungai dan jalan
h.     berdasarkan suatu kesepakatan, pemberian angka pada kontur adalah terbaca pada arah lereng yang naik;
i.      kontur tertentu dengan angka ketinggian yang bulat (umumnya 4-5 garis kontur) dinamakan indeks kontur (contour index), disajikan dengan ukuran garis yang lebih tebal dibanding ukuran garis untuk selang kontur.


Contoh beberapa bentuk kontur
(http://wong168.files.wordpress.com/2011/04/kontur1.png)

TITIK TINGGI
          Titik tinggi adalah titik-titik diatas peta yang mempunyai suatu harga, diatas atau di bawah datum yang digunakan. Pada peta topografi, titik-titik tinggi (Gambar 4.12) ini digunakan sebagai pelengkap dari garis kontur. Fungsi utama titik-titik tinggi adalah memperlihatkan ketinggian tempat/titik yang penting diatas terrain, seperti puncak bukit, titik paling dalam pada sebuah lekuk, titik penting pada suatu jembatan dan sebagainya.


Titik tinggi
          Suatu angka ketinggian yang tepat/benar tidak akan diberikan pada suatu garis kontur, sehingga titik tinggi ini merupakan petunjuk untuk mendapatkan harga dari suatu garis kontur tersebut. Pemilihan titik-titik yang digunakan sebagai titik tinggi jelas merupakan persoalan penting. Titik-titik tersebut harus dapat dikenal pada terrain dengan mudah. Sebaran titik, umpamanya yang terletak di suatu kemiringan gunung, tidak akan berarti jika dibandingkan dengan sebuah titik yang terletak pada perpotongan jalan yang ada di gunung tersebut. Hal ini tentu dapat dimengerti karena titik pada perpotongan jalan akan mempermudah di dalam melakukan orientasi.
Contoh yang baik untuk menempatkan titik tinggi antara lain adalah:
-         puncak bukit;
-         lokasi/titik tertinggi dari perpotongan jalan (di pegunungan);
-         lokasi perpotongan sungai;
-         perpotongan jalan;

         Banyaknya titik-titik tinggi pada suatu peta topografi tidak dapat ditentukan secara pasti, sebab hal tersebut tergantung pada skala peta, jenis/keadaan daerahnya, kegunaan/manfaat titik-titik tinggi tersebut, fungsi peta dan bagaimana keadaan/detail garis kontur itu sendiri. Pada umumnya, peta topografi akan memuat sekitar 15 - 20 titik tinggi per 100 cm atau bahkan kurang dari jumlah tersebut (5 – 10 titik tinggi). Jika pada suatu peta topografi dicantumkan sebuah titik tinggi, maka titik yang diberi indikasi harga ketinggian tersebut harus jelas/dapat dicar di peta; umumnya diberi tanda titik (●) berwarna hitam yang cukup kecil.

ROCK DRAWING

          Garis kontur tidak selalu memperlihatkan semua detail dari suatu relief. Pada beberapa tempat, lereng dari suatu batuan/karang yang berupa lapisan permukaan (rock outcrops) yang curam dan banyak belahan-belahannya, jika digambarkan dengan garis kontur akan memperlihatkan suatu gambaran yang samasekali berbeda dengan keadaan sebenarnya. Jika garis kontur tidak dapat memperlihatkan keadaan sebenarnya dari batuan/karang (rock) tersebut karena tidak cukup detail penggambarannya, maka hal tersebut dapat digambarkan dengan suatu penyajian lain yang disebut rock drawing.
         Penyajian relief secara rock drawing adalah suatu cara/bentuk penyajian dari keadaan batuan/karang yang mempunyai lereng sangat curam serta mempunyai bentuk tidak teratur. Cara penyajian secara rock drawing akan dapat mempertahankan karakteristik dari suatu daerah dengan sebaik-baiknya. Karakteristik itu meliputi antara lain bentuk lerengnya, bentuk patahan, bentuk runtuhan, bentuk lapisannya. Dari hal-hal tersebut diatas, sudah jelas bahwa pengetahuan tentang terrain diperlukan oleh seorang kartografer.
           Bentuk dasar dari relief (merupakan karakteristik daerah itu) yang harus diperlihatkan dengan cara rock drawing adalah:
-         bagian (belahan-belahan) dari batuan/karang tersebut;
-         patahan-patahan yang penting dari suatu lereng;
-         jalur/pola alirannya.


    Bentuk visualisasi keadaan topografi dengan rock drawing
(http://www.tuscany-villa-holiday.co.uk/Images/WC%20-%20Appennines%20&%20Apuane%20Alps%20Relief%20Map.jpg)
     Selanjutnya cara rock drawing dilengkapi juga dengan garis-garis pendek (seperti heachuring) yang biasanya digambarkan dalam dua jurusan yaitu:
-         horisontal (sejajar dengan garis kontur);
-         pada jurusan lereng yang tercuram.

       Garis-garis pendek tersebut (merupakan pelengkap) digambarkan lebih tipis dibandingkan dengan garis-garis utamanya. Penggambaran data ketinggian dengan cara rock drawing umumnya pada peta dengan skala kecil, 1 : 100.000 atau lebih kecil; dengan mengecilnya skala peta, maka penggambaran rock drawing akan lebih mudah pengerjaannya.
BAYANGAN (HILL SHADING)
          Bayangan adalah suatu teknik yang menggunakan pengaruh (effect) bayangan akibat penyinaran dari arah tertentu, digunakan untuk membantu di dalam menyajikan kesan tiga dimensi dari terrain. Bayangan merupakan visualisasi dataran dengan variasi nada yang memberikan efek tiga dimensi. Di masa lalu, menciptakan bayangan gunung pada peta adalah melelahkan dan memakan waktu bagi kartografer dalam membentuk kontur secara seni. Pembuatan peta menggunakan peta topografi kontur sebagai kerangka dan menambahkan perbedaan yang halus dalam bayangan menggunakan pensil, arang, atau airbrush. Saat ini, cara bayangan model elevasi dijgital (DEM) dapat dilakukan dalam satu langkah otomasi menggunakan suatu perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG).
        Pada umumnya gambaran garis kontur akan berhenti pada tempat yang penggambaran hill shading dimulai; sebaiknya warna garis kontur sama dengan warna rock drawing. Berdasarkan pengalaman, effek bayangan yang terbaik untuk penggambaran bayangan adalah penyinaran yang datangnya dari arah Utara Barat, sehingga bayangan akan jatuh kearah mata. Jika penyinaran dari arah Selatan (Barat/Timur), maka kesan yang diperoleh dari terrain tersebut cenderung untuk hal-hal yang merupakan kebalikannya, jadi mata melihat sebagai suatu lekukan (padahal sebenarnya ‘timbul’).

Penyajian bayangan secara otomasi sangat meningkatkan informasi geospasial pada peta. Peningkatan eksponensial dalam jumlah peta dengan bayangan telah jelas membantu pengguna untuk mendapatkan perspektif tiga dimensi di sebuah peta

 Bentuk visualisasi keadaan topografi dengan hill shading
(http://1.bp.blogspot.com/_3SMSqEHAuEQ/SnB8iyFrK9I/AAAAAAAAAOU/
cO0k7nKvUVM/s320/hackberry_second_try.png)
WARNA KETINGGIAN

               Pola (pattern) dari suatu garis kontur memberikan informasi yang tepat suatu ketinggian dan arah dari kemiringan. Penggunaan garis kontur kadang tidak dapat melengkapi kesan pengguna peta akan bentuk relief secara keseluruhan; tidak mungkin untuk secara cepat menemukan hubungan antara relief-relief yang ada pada beberapa tempat di sebuah peta. Untuk itu, digunakan warna-warna ketinggian yang secara cepat dapat memberikan ‘kejelasan’ akan relief yang ada pada peta tersebut. Kemungkinan penggambaran warna ketinggian tergantung pada:
-         maksud dan tujuan pembuatan peta;
-         skala peta;
-         elemen-elemen lain dari bentuk penyajian relief;
-         pengalaman kartografer.

Ada beberapa cara untuk menentukan tingkatan warna:
a.     Dilakukan pemilihan sejumlah warna, setiap warna digunakan untuk satu daerah ketinggian (height zone), kemudian warna-warna disusun sedemikian rupa sehingga memberi kesan tentang suatu tingkatan. Warna –warna yang digunakan dalam penyajian relief ini biasanya dari warna hijau tua untuk daerah rendah, meningkat ke warna hijau muda, kuning, coklat sampai warna merah.

diatas 4.000 m  
:
warna coklat kemerah-merahan
2.000 – 4.000 m
:
merah kecoklat-coklatan
1.000 – 2.000 m
:
coklat
500 – 1.000 m   
:
coklat muda
200 – 500 m      
:
kuning
100 – 200 m      
:
kuning hijau
0 – 100 m          
:
biru hijau

b.     Digunakan satu warna saja, tetapi dari warna tersebut diatur nadanya, dimulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi; umumnya keadaan ini digunakan untuk peta hitam putih, jadi diatur ‘grey scale’-nya. Hal yang sama juga dijumpai pada warna kedalaman (depth layers) di laut, yaitu warna biru yang diatur nadanya dari biru muda sampai biru tua.

c.     Memilih satu rangkaian warna sedemikian rupa sehingga memberi kesan ‘sedekat mungkin’ pada warna sesungguhnya (asli) dari lingkungan dimana unsur tersebut berada. Keadaan ini umumnya diterapkan pada warna untuk tumbuhan-tumbuhan, pasir, karang, salju dan sebagainya.

Bentuk visualisasi keadaan topografi dengan warna ketinggian
      Warna yang digunakan untuk penyajian relief pada umumnya dicetak pada detail/unsur topografi lainnya yang ada di peta. Untuk alasan di atas, sebaiknya warna-warna yang digunakan harus ‘ringan’ (light) dan ‘tembus’ (transparant). Lebih-lebih bila warna-warna ketinggian tersebut dikombinasikan dengan bentuk penyaian relief lainnya seperti kontur, hill shading; harus ada suatu ‘harmoni’ dari keadaan tersebut, sehingga kesan yang ditampilkan tidak saling menutupi, tetapi saling memperkuat informasi ketinggian.

*) Tulisan diambil dari Buku Kartografi, Hadwi Soendjojo dan Akhmad Riqqi, Penerbit ITB 2012